CARA
KAPITALISME MENGUASAI DUNIA
Sistem
ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan
terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal).
Mereka lalu
menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan.
Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan
untuk konsumsi akan “disedot”.
Lalu siapakah
yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi
ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan.
Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu
memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum
kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih
besar lagi.
Nah, apakah
adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada
kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa?
Yaitu dengan
pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas
saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden.
Siapakah yang
memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi
emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan
besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini.
Siapa mereka
itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi
lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi
kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan
cara apa lagi?
Cara
selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut
teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the
law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan
kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang
kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan
tutup dengan sendirinya.
Dengan apa
perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga
sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Agar
perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan
persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang
dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana
caranya?
Caranya
adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan
mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dsb. Lantas, dengan cara
apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja
dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar
modal.
Jika
perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan
“mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).
Kita sudah
memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang
sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan,
keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dsb. Bisnis
di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena
hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya?
Caranya
adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya
jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu
per satu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua
lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika dengan
cara ini kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak
terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara
mengatasinya?
Caranya
ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum
kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha.
Untuk menjadi
penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak
murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab
permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan
dan pasar modal.
Jika kaum
kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni (pengaruh) ekonomi di
tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang
berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah
dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini?
Tentu saja
belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup.
Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya?
Problemnya
adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus
membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin
lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan
kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu
dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia.
Caranya
adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat
penduduknya. Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia
(WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia
(GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa
halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).
Dengan adanya
WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat
memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya.
Untuk
mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap
didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan
pasar modal.
Jika
kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan
mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka perusahaannya di
negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Yaitu dengan membuka Multi National
Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya.
Dengan
membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu
menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga
sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang
berpotensi menjadi pesaingnya.
Untuk
mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap
didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar
modal.
Apakah dengan
membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk
menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan
baku yang ada di negara tersebut.
Untuk
melancarkan jalannya ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya
berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai
sepenuhnya sumber bahan baku tersebut.
Contoh yang
terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang
memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia
sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain,
yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA
Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.
Menguasai SDA
saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu.
Dengan cara apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin
murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya.
Untuk
mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan
sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs
mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang
akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?
Jawabannya
adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka
Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan”
nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata
uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi
murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.
Jika ingin
lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya. Cara selanjutnya adalah
dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana
caranya? Yaitu dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara
tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan
Nasionalnya.
Jika
penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak
bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu
akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk
pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu
melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
Keadaan ini
akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan
anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini
tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana
biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi.
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, cara-cara hegemoni kapitalis dunia di negara lain
ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan,
kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi. Nah, cara inilah yang akan
menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana
caranya?
Caranya
adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara
tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis
dunia. Bagaimana strateginya?
Strateginya
adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka.
Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi
lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi
Pemilihan Umumnya.
Nah, apakah
ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi
problem yang baru. Apa problemnya?
Jika hegemoni
kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan
memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut.
Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut
akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi
kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa?
Jika penduduk
suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi
produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya
miskin semua? Di sinilah diperlukan cara berikutnya.
Agar rakyat
negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu
mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO
ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development),
yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan
industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil
maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun
skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.
Agar operasi
NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang
tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya
kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum
kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan
tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting
adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk
selamanya.
Sampai di
titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris
“sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya
ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah
membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia
terhadap terjadinya krisis ini.
Namun
demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka
masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu?
Ternyata
sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan
talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan
diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebagaimana
kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat.
Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung
bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus
dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.
Bagaimana
hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya
akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah
produk dari hegemoni kapitalisme dunia.
Oleh: Dwi
Condro Triono, Ph.D